PANRITAKITTA' - Medio 1546, kala mentari sudah naik sepenggalah, kapal perang Portugis yang sandar di dermaga Machoquique mendadak dikepung pasukan Kerajaan Suppa, dua kelompok pasukan yang merupakan sekutu ini tiba-tiba harus berhadap-hadapan. Seorang dengan jubah santo, Pastor Vincente Viegas, yang sehari-hari melayani umat Katolik jemaat gereja Santo Rafael di Pangkajene, berjalan menuruni tangga kapal, berdiri di depan pimpinan pasukan Kerajaan Suppa.
Beberapa
saat sebelumnya, saat pagi berbasuh cahaya mentari. Tanpa ada yang menyadari,
seseorang telah menyelinap masuk ke ruang nakhoda.
“Senhor…” Suara Dona Elena terdengar
resah.
“Aga
kareba? Apa yang terjadi, kenapa Princesa Vesiva ada di sini di pagi buta?”
Jawab Eredia, kaget, dia menuntun Dona Elena duduk di bangku, dia sendiri
memilih duduk di depannya.
“Tire-me
daqui, bawa aku pergi.” Kembali Dona Elena merajuk.
“Aku
tak mungkin membawamu begitu saja, itu bukan perbuatan terhormat.” Suasana
hening, hanya suara nafas Dona Elena yang terdengar.
“Tapi
tuan mencintaiku bukan?” Mata Dona Elena menatap Eredia penuh harap.
“Itu
tak perlu Princesa ragukan. Tapi bukan berarti kita bisa pergi begitu saja.”
Eredia mengeleng-gelengkan kepala.
“Aku
lelah tuan, ayahku tak bakal menyetujui hubungan kita.” Kedua telapak tangan
Dona Elena ditutupkan ke muka.
“Kita
masih punya waktu untuk mendapatkan restunya. Kapal ini masih punya satu
purnama, sebelum angkat sauh.” Eredia meyakinkan.
“Nao! Tidak! Ayahku tak akan pernah
memberi itu. Nao vai.” Dona Elena
menarik nafas panjang.
“Kenapa
Princesa berkesimpulan begitu?” Muka lelaki bernama lengkap Joao de Eredia
Aquaviva, menegang.
“Aku
akan dinikahkan dengan sepupuku, Arung Bacukiki.” Dona Elena membuang muka.
“Kamu
serius, Princesa? Dengan Arung Machoquique?” Mata Eredia membelalak.
“Ya.
Semalam ayahku menyampaikan keputusannya. Itulah mengapa aku berada di sini
sekarang. Aku lebih memilihmu!” Dona Elena menggenggam erat tangan Eredia.
Lelaki yang lahir di semenanjung barat daya benua Eropa tersebut hanya
termangu.
Hening
menyelimuti, suara kecipak gelombang yang menampar-nampar lambung kapal, begitu
nyaring. Tapi tak lama. Di kejauhan, terdengar suara-suara teriakan yang
mendengung bak kawanan lebah. Eredia tersentak, Dona Elena tak kalah kaget.
Mereka mengerti, itu suara pasukan telah menghunus senjata dan bersiap
menghadapi musuh. Pasukan yang bergerak menuju dermaga, tempat di mana kapal
yang mereka tumpangi, sementara berlabuh.
Seorang
prajurit muncul dari balik pintu, wajahnya pias. Sambil membetulkan posisi
topinya, ia berseru.
“Senhor! Bagaimana ini?”
“Magai? Ada apa?” Meski sudah bisa
menebak, Eredia mencari penguatan dari jawaban bawahannya.
“Pasukan
Don Louis, mencoba merangsek naik ke sini. Tuan de Pereira sementara
bernegosiasi untuk mengulur waktu.” Jawab si prajurit. Eredia menepuk ringan
kepalanya.
Di
saat genting itulah, Pastor Viegas yang baru saja memungkaskan rangkaian ibadat
pagi bersama penumpang kapal, memutuskan dengan pintas.
“Joao
de Eredia Aquaviva, selaku kuasa penuh Don Joao o Piedoso, Rei de Portugal, e
dos Algarves di tanah Celebes, kuperintahkan engkau untuk segera berlayar ke
Malaka, sekarang juga!” Suara Pastor Viegas terdengar lembut, namun tegas.
“Tapi…”
Mata Eredia membelalak.
“Tak
ada kata tetapi, urusan dengan Don Luis penguasa Palacio La Malaca, nanti saya
yang bereskan. Bawa Princesa Vesiva ke Fortaleza de Malaca!” Pastor Viegas
kembali mengulang perintahnya sebelum akhirnya berjalan menuruni tangga kapal,
menemui pasukan Kerajaan Suppa.
* *
*
Awal
tahun 1544, dermaga Soreang, mendadak ramai. Sebuah kerakah berbendera Portugis
merapat. Kapal layar bertiang tiga itu terlihat sarat muatan.
“Bem-vinda a ponta dos celebres!” Teriak
seorang lelaki paruh baya dari anjungan kerakah yang dia tumpangi sejak dari
Malaka. Lelaki itu, Antonio de Payva namanya.
“Selamat
datang di tanjung orang-orang tenar!” Kembali de Payva berterian lantang, kedua
tangan direntang, menyisakan ujung jubahnya yang kaku akibat terpaan angin laut
yang asin, menggantung di sisi tubuhnya yang tambun.
Lelaki
itu, pimpinan pedagang asal Lusitania, memimpin rombongannya yang baru saja
pulang dari ekspedisi mencari kayu cendana di daerah Celebes tengah. Tapi atas
perintah Afonso de Albuquerque, penguasa Fortaleza de Malaca di Semenanjung
Malaya, de Payva diminta untuk mampir ke jazirah selatan, kawasan yang terkenal
sebagai negeri para bajak laut penguasa lautan timur Nusantara.
“Tugas
kita adalah membangun persahabatan dengan mereka, agar pelayaran kita ke Maluku
tak mengalami gangguan.” De Payva kembali mengingatkan anggota rombongannya
untuk tidak membuat masalah. Maka setelah kerakah sandar dengan sempurna,
rombongan pedagang Portugis itu turun dengan membawa berbagai macam bungkusan
sebagai hadiah bagi penguasa Suppa, negara di sebelah utara Soreang.
* *
*
Setelah
berbilang bulan melakukan pendekatan, akhirnya tugas de Payva membuatkan hasil.
Raja Suppa, La Makkarawi yang sebelumnya menganut kepercayaan leluhur Bugis,
bersedia bersalin iman menjadi Katolik. Tapi berhubung belum ada pastor yang
ikut dalam rombongan, de Payva mengambil peran sebagai juru baptis. Ruang depan
Langkanae La Malaka, istana berbahan utama kayu-kayu pilihan dari Malaka,
menjadi saksi ketika La Makkarawi melafazkan ikrar perihal keesaan Tritunggal
Tuhan, sementara de Payva memercik-mercikkan air ke atas kepalanya.
“Dalam
nama Bapa, dan Putera, dan Roh Kudus, Amin.”
Tak
tanggung-tanggung, selain dirinya, ikut pula dibaptis istri dan anak-anaknya.
Mata
We Siwa, salah seorang putri La Makkarawi yang ikut dibaptis, berbinar indah
saat de Payva menyematkan Dona Elena Vesiva menjadi namanya yang baru, nama
yang diurapi dengan nama agung Tuhan yang Esa, O deus todo-poderoso. Anak
berusia lima belas tahun itu merasakan suka cita yang meruah dalam bening
jiwanya. Mata mungil Dona Elena melirik ke sisi luar Langkanae, di sana berdiri
sesosok perwira Portugis dengan pakaian militer lengkap yang gagah, menjadi
saksi peristiwa sakral tersebut. Lelaki muda yang telah mengawal perjalanan de
Payva sejak pelayaran mereka beberapa tahun lampau dari ujung barat semenanjung
Iberia hingga ke Celebes kini.
Sementara
itu, La Makkarawi yang dianugerahi nama baptis Don Luis, berjalan ke arah
jendela, menatap jauh ke dermaga Suppa, memandang puncak tiang layar Soena
Gading, perahu kebanggaannya. Mulutnya bergumam lirih, “Nós somos católicos agora“, sambil melirik de Payva yang ikut
berdiri di sisi kirinya, “Kini, kami Katolik.” Senyum mengembang di bibirnya.
* *
*
Februari
1546, sisa-sisa musim hujan masih terasa, gerimis menyambut pagi di istana Raja
Suppa. Setelah melepas sepatu boot-nya, Eredia menapaki tangga La Malaka. Hari
ini dia memantapkan hati menemui Don Luis untuk melamar Dona Elena. Melihat
kedatangan perwira Portugis tersebut, La Makkarawi menyilakan Eredia duduk di
atas tikar, sementara dia sendiri, tetap di atas cadeira.
“Como você está, aga kareba, bagaimana kabar Tuan Perwira?” La Makkarawi menyapa
tamunya.
“Madeceng
mua Puang, kabar baik paduka, semoga Senhor Don Luis demikian juga adanya.”
Eredia membungkuk hormat sebelum akhirnya duduk bersila.
“Oh
ya, ada apa gerangan yang membawa Tuan Perwira hadir di istana sepagi ini?” La
Makkarawi menyelidik.
“Me perdoe senhor, terdiam sejenak lalu
melanjutkan, maafkan aku tuan….” Merapikan duduknya.
“O que é isso, tak apa. Bertamu sepagi
ini di istanaku bukanlah hal terlarang.”
“Aku….
Aku ingin melamar puteri tuan.”
“Puteri
yang mana? Tentu Tuan Perwira tahu belaka bila aku punya beberapa Puteri.”
“Princesa
Dona Elena Vesiva, Senhor.”
“Oh,
We Siwa?”
“Iya
paduka. Pelo amor de Deus no céu,
atas nama Bapa di surga, aku melamarnya.”
“Engkau
terlambat Tuan Perwira…”
“Maksud
Senhor Don Luis?”
“We
Siwa telah dijodohkan dengan sepupunya sejak ia lahir.”
“Siapa
gerangan dia, Senhor?”
“Arung
Bacukiki.”
“Rei
de Machoquique?”
“Ya,
dan tentu Tuan Perwira tahu, perjodohan ini tak mungkin kami batalkan!”
Mendengar perkataan La Makkarawi yang tegas, Eredia tertunduk lesu, jubahnya
ikut menjadi lusuh. Tak ada yang bersuara, La Makkarawi juga tak tahu harus
mengatakan apa lagi.
“Me perdoe…” Ujar Raja Suppa, memecah
kesunyian. Tak lama, Eredia pamit, dan undur diri dengan muka ditekuk.
Setiba
di depan tangga, Eredia mendengar seseorang memanggilnya dengan pelan dari
kolong istana.
“Senhor, bagaimana?” Wajah Dona Elena
menuntut jawab.
“Sepertinya
kita masih harus menunggu hingga takdir berpihak ke kita, Princesa Vesiva.”
Eredia berusaha tersenyum. Mendengar itu, Dona Elena tertunduk kelu.
“Aku
pamit dulu. Adeus Princesa.”
Dona
Elena menatap punggung lelaki yang selama ini menjadi penghias mimpi malamnya.
Saat Eredia menghilang di tikungan jalan, Dona Elena bergumam lirih, “Eu amo voce…”, buliran bening bergulir
di kedua bilah pipinya.
* *
*
Hari
yang panas, membara sejak kemarin. Amarah yang merembet dari Bacukiki pagi ini
menjangkau Pangkajene. Gereja Santo Rafael, tempat Pastor Vincente Viegas
melayani jemaat, hangus terbakar. Karena gagal mencegah kepergian putrinya, We
Siwa bersama Eredia yang menumpang kapal Portugis, La Makkarawi tak menyisakan
jejak Portugis di Ajatappareng.
Catatan:
Ilustrasi dalam cerpen ini adalah wajah Manuel Godinho de Eredia, seorang
kartograf terkenal. Manuel adalah buah pernikahan dari Joao de Eredia Aquaviva
dengan Dona Elena Vesiva.
Muhammad Kasman, Founder Makassar Buku.
Posting Komentar